Melestarikan Aksara Nusantara Indonesia Melalui Teknologi Digitalisasi
Waktu saya kecil, saya pernah bersekolah di sekolah dasar di sebuah kota di Jawa Tengah. Sebagai anak pindahan dari Jakarta, ada satu mata pelajaran yang menurut saya paling susah tapi juga menyenangkan, yaitu pelajaran Bahasa Jawa. Saya yang hanya mengenal aksara latin, saat itu berkenalan dengan Aksara Jawa, Hanacaraka. Bentuk aksara yang sangat berbeda dengan yang biasa saya gunakan, tapi juga sangat menarik karena buat saya itu seperti lukisan dan seperti mempelajari kode-kode rahasia, hehehe.
Sekarang saya baru mengetahui bahwa Indonesia yang seluas ini memiliki lebih dari 700 bahasa daerah. Yah nggak heran sih, kita punya begitu banyak propinsi dengan beragam suku budaya di dalamnya. Walaupun kita semua disatukan dengan Bahasa Indonesia, tetapi bahasa daerah tetap melambangkan budaya masing-masing suku dan daerah.
Saya sendiri, sebagai orang Jawa, hanya mengenal bahasa Jawa karena itu adalah bahasa yang digunakan sehari-hari di keluarga saya selain bahasa Indoesia. Nggak fasih-fasih amat sih, tapi setidaknya saya bisa paham lah kalau ada yang ngajak ngobrol, hehehe. Aksara Jawa yang saya pelajari di sekolah dasar pun sudah agak lupa-lupa ingat. Yah, karena nyaris tidak pernah digunakan di kehidupan sehari-hari sih. Apalagi setelah saya kembali ke Jakarta.
Setelah saya pindah kuliah ke Bandung, dapat tantangan baru lagi nih… memahami bahasa Sunda. Sayangnya sampai sekarang pengetahuan saya tentang bahasa Sunda masih minim sekali. Hanya sebatas kata-kata dasar yang digunakan oleh teman-teman, atau yang wajib diucapkan ketika naik angkutan umum, hehehe.
Bagaimana dengan bahasa-bahasa daerah lainnya? Ada 700 lebih bahasa daerah, saya yakin teman-teman di seluruh Indonesia mengalami hal yang kurang lebih mirip seperti saya. Karena terbiasa menggunakan bahasa Indonesia – bahkan mungkin juga bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya, jadi penggunaan bahasa daerah hanya sebatas penggunaan di lingkungan keluarga atau bahkan mulai terlupakan. Lha wong saya aja hampir lupa cara nulis aksara Jawa, padahal dulu waktu nenek saya masih hidup, beliau rajin sekali menulis surat dan membaca majalah berbahasa dan beraksara Jawa. Perkembangan teknologi dan globalisasi membuat kita mudah sekali mengenal bahasa-bahasa lain di dunia, yang lebih kerap digunakan. Bahasa Inggris yang dipelajari di sekolah, kemudian ada juga bahasa Jepang yang dikenal dari tontonan dorama dan anime, dan yang lagi ngetren sekarang adalah bahasa Korea, berkat penyebaran budaya K-pop dari drama Korea dan musik-musiknya. Bagi umat muslim di Indonesia, tentunya sejak kecil sudah tidak asing dengan aksara Arab yang digunakan di Al-Quran. Sebagian besar bahkan sudah mempelarinya supaya lancar membacanya. Seru ya, pengetahuan kita bertambah luas dan semakin banyak bahasa yang menarik untuk dipelajari.
Sayangnya nih, justru bahasa daerah kita sendiri yang terancam punah, karena jarang digunakan. Begitu juga dengan aksara nusantara kita. Seperti halnya aksara Jawa, di Indonesia juga ada aksara Bali, Sunda, dan masih banyak lainnya. Penggunaan aksara-aksara ini tentunya kalah populer dengan penggunaan aksara bahasa asing seperti tulisan Arab, kanji Cina, hiragana-katakana dari jepang, atau hangeul dari Korea. Itu baru sebagian kecil dari banyaknya aksara di dunia.
Beberapa hari yang lalu, saya berkesempatan untuk mengikuti bincang-bincang di Instagram Live mengenai Program Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (Mimdan). Acara ini diprakarsai oleh akun Instagram @merajut_indonesia, dengan menghadirkan narasumber kak Ilham Nurwansyah selaku penggerak Aksara Digital, dan mbak Ratih Ayu dari Divisi Pengembangan Usaha dan Kerjasama PANDI. PANDI ini adalah sebuah badan Pengelola Nama Domain Internet Indonesia, yang juga memrakarsai Komunikasi Digital para pegiat aksara Nusantara. Acara bincang-bincang yang dipandu oleh teman blogger saya, Evi Sri Rezeki ini berlangsung selama satu jam tapi nggak berasa karena topik bahasannya seru banget! Kalian juga bisa simak acaranya di tautan ini ya.
Dari bincang-bincang Merajut Indonesia tersebut, saya jadi tahu kalau saat ini PANDI dan para pegiat aksara Nusantara sedang berupaya untuk melestarikan aksara-aksara Nusantara ini melalui teknologi digital. ya, aksara-aksara ini kini didigitalisasi supaya lebih mudah digunakan oleh masyarakat umum. Kata kak Ilham, proses digitalisasi aksara nasional ini cukup rumit karena data aksara-aksara ini harus bisa terbaca dan tidak tertukar satu sama lain oleh sistem komputer.
Saya juga baru tahu kalau aksara Jawa, Bali, dan Sunda sudah didaftarkan untuk distandarisasi SNI (Standar Nasional Indonesia). Saat ini, baru ada enam aksara nusantara yang didaftarkan ke ICANN (The Internet Corporation for Assigned Names and Numbers) dan baru tujuh aksara terdaftar di UNICODE. Nanti ke depannya, PANDI juga sedang mengusahakan agar aksara-aksara Nusantara ini bisa digunakan dalam standar pemberian domain internasional untuk aksara non-latin melalui IDN atau Internationalized Domain Name. Wah, seru ya kalau nantinya saya bisa punya domain website menggunakan aksara Jawa!
Saat ini kita juga sudah bisa menggunakan beberapa aksara Nusantara di perangkat mobile seperti ponsel. Kalau ditilik di Google Playstore, kita bisa mengunduh aksara Jawa, Sunda atau Bali dan diterapkan di ponsel kita lho. Sudah pernah coba belum?
Saya sih berharap program ini bisa berjalan lancar sehingga nanti semakin banyak aksara Nusantara yang bisa dikenal dunia. Masih ada banyak sekali aksara Nusantara yang nggak kalah menariknya dari aksara-aksara asing. Dan kita sebagai masyarakat Indonesia juga berkewajiban untuk melindungi supaya warisan budaya ini tidak punah, bukan?