Books

SANGHARA: Menyusuri Dunia Masa Depan Lewat Novel BORN

Posted on in Books

Pada tanggal 27 Juni 2025 yang lalu, saya berkesempatan hadir di sebuah acara yang, kalau saya boleh jujur, awalnya membuat saya sedikit bingung. Acaranya bertajuk SANGHARA—sebuah peluncuran novel sekaligus pameran seni. Sebagai seseorang yang cukup awam soal dunia seni rupa, saya sempat ragu apakah ini tempat saya. Tapi karena satu kata keramat, yaitu novel, saya jadi penasaran kan ya. Maka datanglah saya ke GREY Gallery di Jalan Braga, Bandung, tempat acara ini diselenggarakan. Awalnya sih saya cuma mikir, “Oke, ini peluncuran novel, pasti seru.” Tapi makin lama duduk di sana, saya malah makin penasaran. Soalnya, kayanya ini bukan novel biasa nih. Katanya, ceritanya tentang dunia di masa depan—dunia yang rusak karena sistem yang bengkok. Dan saya langsung mikir, “Kayak gimana sih ceritanya? Se-gila apa dunia yang mereka bayangin?”

Peluncuran novel BORN oleh keempat penulisnya

 

Selamat datang di dunia SANGHARA

Acara ini dibuka dengan talkshow sastra yang mengangkat tema: “Menulis Dunia yang Rusak: Distopia Sanghara dan Realitas Tak Sekadar Fiksi.” Kalau dilihat dari judulnya sih, wah kayanya novel yang akan dibahas ini bukan sekadar fiksi hiburan nih. Ada sesuatu yang lebih dalam di dalamnya.

Novel yang diluncurkan ini berjudul BORN. Ini adalah buku pertama dari sebuah semesta fiksi bernama SANGHARA Universe, hasil kolaborasi empat penulis hebat: Eva Sri Rahayu, Max Aditya, Dimas Fani, dan Novieansyah Suhendar. Keempatnya membawa perspektif unik, latar belakang yang beragam, dan gaya menulis masing-masing. Hasilnya adalah satu karya utuh yang kaya dan menggugah.

BORN: Ketika Dunia yang Rusak Dibingkai Lewat Fiksi

Cuplikan isi buku BORN

BORN bukanlah novel distopia biasa. Ia bukan tentang satu tokoh yang melawan sistem, lalu menang atau kalah. Bukan. BORN adalah sebuah potret dunia—dunia yang rusak karena ketimpangan, karena rekayasa sosial, karena kehilangan kemanusiaan. Dan dari dunia itu, kita dikenalkan pada tokoh-tokoh yang tidak sempurna, tapi nyata. Mereka hidup, bergerak, dan terpengaruh oleh sistem yang mereka tinggali.

Yang menarik, BORN tidak punya tokoh utama dalam pengertian tradisional. Dunia SANGHARA-lah yang menjadi pusat cerita. Dunia itu yang menggulirkan para tokohnya, bukan sebaliknya. Jadi saat kita membaca, kita tidak hanya mengikuti perjalanan satu karakter. Kita menyusuri sebuah sistem. Kita mengalami denyut nadi sebuah peradaban fiksi yang dibangun dengan sangat detail.

Sagara, atau Gyan, atau Baldwin, beberapa tokoh yang mungkin akan terlihat dominan di awal, ternyata bukanlah tokoh utama. Ia hanya bagian kecil dari cerita besar yang bernama SANGHARA.

Riset yang Nggak Main-Main

Satu hal yang benar-benar membuat saya takjub adalah betapa seriusnya para penulis dalam menyiapkan cerita ini. Mereka tidak sekadar menulis fiksi, tapi membangunnya di atas fondasi riset yang kuat.

Para penulis bahkan menyebut bahwa mereka menulis beberapa bagian cerita seperti jurnal ilmiah. Ya, benar-benar seperti jurnal akademik! Alasannya? Karena mereka ingin mengedukasi pembaca. Mereka percaya pembaca Indonesia itu cerdas. Dan karena itulah, mereka merasa bertanggung jawab untuk menyajikan cerita yang masuk akal dan berakar pada sains.

Salah satu hal paling unik dari BORN adalah temanya yang bisa dibilang cukup nyeleneh tapi keren—mutasi genetik antara manusia dan tumbuhan! Iya, kamu nggak salah baca. Manusia… dan tumbuhan. Tema kayak gini tuh jarang banget diangkat, bahkan di fiksi luar negeri. Makanya pas denger ini dibahas, saya langsung mikir, “Wah, ini pasti risetnya ribet banget.”

Dan ternyata bener. Para penulisnya nggak main-main. Mereka bener-bener serius riset: nonton film-film yang ngebahas mutasi, baca jurnal ilmiah, bahkan masih terus brainstorming walaupun naskahnya udah selesai. Yang menarik, Eva Sri Rahayu—salah satu penulisnya—ngaku kalau gara-gara riset ini, dia jadi tahu kalau ternyata jenis kaktus itu banyak banget. Nggak cuma satu dua macam, tapi ratusan! Dan itu semua punya karakteristik masing-masing.

Mungkin itu juga kenapa di acara peluncuran kemarin, para pengunjung dikasih suvenir berupa kaktus mungil yang dikemas cantik. Bukan cuma sebagai pemanis, tapi kayaknya juga jadi simbol kecil dari cerita di dalam novel ini. Kaktus yang kelihatannya sederhana, tapi ternyata kompleks dan penuh makna. Sama kayak dunia SANGHARA—kelihatan fiksi, tapi ternyata banyak hal di dalamnya yang relevan banget sama kenyataan.

Empat Suara, Satu Semesta

Biasanya nih ya, kalau denger ada novel yang ditulis rame-rame sama beberapa penulis, saya penasaran apakah cerita dalam novel ini bakal beda-beda feel-nya di tiap bab. Soalnya, tiap penulis pasti punya gaya nulis sendiri-sendiri, cara berpikirnya beda, dan cara meracik cerita juga nggak selalu sama. Jadi wajar aja kalau kolaborasi penulis itu sering dianggap tricky—kalau nggak hati-hati, ceritanya bisa kerasa kayak tambal sulam: loncat-loncat, nggak nyambung, atau malah jadi nggak punya arah yang jelas.

Tapi di BORN, hal kayak gitu nggak kerasa sama sekali. Justru, buat saya pribadi, keragaman gaya dari keempat penulisnya malah jadi kekuatan utama. Masing-masing penulis kayak punya “warna” sendiri, tapi semua warna itu bisa nyatu jadi satu kanvas besar yang harmonis. Nggak saling nutupi, nggak saling mendominasi, tapi saling ngisi dan ngangkat satu sama lain.

Di novel BORN ini, mereka berhasil banget bikin semesta SANGHARA yang padat, hidup, dan punya napas yang konsisten—meskipun ditulis oleh empat kepala yang pastinya nggak selalu punya sudut pandang yang sama.

Para penulis ngakunya sih nggak mengalami perdebatan saat menyusun cerita, justru mereka saling melengkapi. Bagi mereka, tantangannya bukan hanya menyatukan cerita, tapi juga menyatukan roh dari masing-masing penulis ke dalam semesta SANGHARA. Dan hasilnya terasa. Saat membaca, saya bisa merasakan pergeseran nuansa dari satu bab ke bab lain, tapi semuanya tetap terasa utuh.

Eva Sri Rahayu, misalnya, mengakui bahwa ini adalah kali pertamanya menulis genre fantasi distopia. Tapi dia melihatnya bukan sebagai tantangan, melainkan sebagai petualangan. Dan saya rasa, semangat itu terasa banget di halaman-halaman novel ini.

Fiksi yang Terasa Nyata (dan Menyakitkan)

Yang bikin saya agak merinding adalah kenyataan bahwa cerita ini berawal dari imajinasi liar. Tapi di saat yang sama, ketika saya membaca bagian-bagian awal, saya langsung merasa: Eh, kok kayak dunia kita, ya?

Dan para penulis bilang: itu bukan disengaja. Tapi bukankah fiksi yang bagus memang seperti itu? Ia memantulkan kenyataan. Ia menampar kita, tapi dengan cara yang halus. Ia membuat kita berpikir tanpa menggurui.

SANGHARA adalah perlawanan. Tapi bukan dengan bendera atau senjata. Ia adalah perlawanan lewat cerita. Lewat dunia yang diciptakan, mereka mempertanyakan: apakah ini semua benar-benar fiksi? Atau sebenarnya kita sudah hidup di dalam dunia seperti ini?

Kenapa Kamu Harus Baca BORN

Sebagai pembaca, saya merasa BORN adalah sebuah kejutan yang menyenangkan sekaligus menggugah. Novel ini punya semua elemen cerita yang seru: dunia baru yang unik, konflik yang kompleks, karakter-karakter yang hidup, dan gaya bahasa yang tajam. Tapi lebih dari itu, novel ini juga mengajak kita berpikir. Mengajak kita menengok ke dalam diri sendiri dan bertanya: kita ini sebenarnya hidup di dunia yang seperti apa?

Kalau kamu pencinta fiksi ilmiah, penyuka distopia, atau penikmat cerita-cerita yang nggak sekadar menawarkan hiburan tapi juga makna, BORN wajib kamu baca. Tenang aja, walaupun ini baru bagian pertama dari semesta SANGHARA, kamu nggak bakal kebingungan kok. Ceritanya bisa langsung dinikmati tanpa harus paham latar belakang atau ribet duluan. Begitu buka halaman pertama, dijamin kamu bakal langsung kebawa masuk ke dunianya.

Bersama teh Eva, salah satu penulis buku BORN

Saya pribadi sudah nggak sabar menanti kelanjutannya. Semoga semesta SANGHARA terus berkembang dan membawa kita menjelajahi lebih banyak sudut dunia yang “rusak”—tapi sekaligus mengingatkan bahwa di setiap kehancuran, selalu ada secuil harapan yang bisa kita rawat bersama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *