Mengenal Kopi Gayo di Banda Aceh Coffee Festival
Siapa yang suka minum kopi? Minuman yang satu ini memang rasanya sudah sangat akrab dengan keseharian kita ya. Baik ngopi di rumah, di kantor, maupun ngopi-ngopi cantik di cafe. Hehehe, kapanpun dan di manapun, kita bisa menikmati hasil rajikan dari gerusan biji-biji kopi ini.
Kalau dilihat sejarahnya, kopi pertama kali dibawa ke Indonesia pada masa pendudukan Belanda di tahun 1600-an. Sejak itu, biji kopi menyebar ke seluruh daratan tanah air kita, dan menimbulkan banyak varietas yang memiliki keunikan sendiri-sendiri. Perbedaan suhu, tanah, kadar air, lokasi, dan berbagai faktor lainnya membuat kopi di Indonesia menjadi banyak ragam dan rasa. Itu sebabnya kita jadi punya kopi Aceh, kopi Papua, kopi Bali, dan lain sebagainya. Seru ya!
Beberapa waktu yang lalu saya dapat kesempatan untuk hadir di acara Festival Kopi Aceh 2016 di kota Banda Aceh. Waaah seneng banget rasanya, bisa lihat beragam jenis kopi yang ada di festival itu. Dan saya baru tahu, kalau ternyata Kopi Aceh yang sering dikenal orang sebagai kopi Gayo itu ternyata banyaaaakk banget jenisnya.
Apa sih kopi Gayo itu?
Kopi Gayo adalah kopi yang tumbuh di dataran tinggi Gayo, Sumatera. Tepatnya ya di wilayah Aceh tersebut. Ada jenis kopi arabika, ada juga yang robusta. Kalau yang paling ngetop sih yang jenis arabika. Konon perkebunan kopi di daerah Gayo ini merupakan perkebunan kopi terluas di Indonesia, dan produksi kopi Arabika yang dihasilkan dari tanah Gayo ini merupakan yang terbesar di Asia. Banyak ahli kopi yang berpendapat bahwa kopi Arabika dari Gayo ini salah satu kopi terbaik di dunia lho. Mungkin kamu yang pecinta kopi, juga sepakat kan kalau kopi Gayo emang enak banget, hehehe.
Di Festival Kopi Aceh kemarin, ada banyak booth yang berpartisipasi. Sepertinya hampir semua jenis kopi Gayo ada di situ. Salah satu booth yang saya datangi, dari Kaffa Kopi, menawarkan kopi Gayo jenis Arabica Wine. Waktu saya cicipi, memang wangi dan rasa wine-nya terasa sekali! Wah, saya baru tahu kalau kopi pun bisa terasa seperti wine, hehehe. Selain itu juga ada kopi jenis Arabika Luwak Liar, Gading Gayo Datu Radot, Loyang Koro, dan sederet nama yang saya nggak paham juga… tapi yang jelas, rasanya beda-beda!
Semua kopi Gayo tersebut diproses dengan teknik manual brewing, karena kebetulan di Festival Kopi tersebut juga ada kompetisi manual brew yang diikuti oleh para barista handal se-Aceh. Seru banget, dan dari berbagai teknik manual brew yang saya tahu, yang paling banyak dipertunjukkan adalah dengan menggunakan V60. Semua kopi yang saya cicipi di Festival Kopi ini diracik dengan teknik V60, dan sensasi rasanya benar-benar istimewa. Kalau nggak kontrol diri, bisa kembung minum semua kopi yang penasaran pengen dicoba, hehehe.
Sebelum acara Festival Kopi ini berakhir, saya dan teman-teman berkeliling ke setiap booth dan tidak lupa membawa beberapa kantong kopi Gayo untuk oleh-oleh. Harga tiap gramnya berbeda-beda tergantung jenis kopinya, tapi yang jelas enak semua sih. Nggak heran kalau minum kopi ini sudah menjadi budaya di Aceh ya, lha wong kopinya aja enak-enak. Pantaslah kalau Banda Aceh sering disebut-sebut sebagai Kota 1001 warung kopi, soalnya memang di kota ini banyaaaak sekali terdapat kedai kopi. Hampir di tiap pengkolan jalan ada kayanya, hehehe.
Selama lima hari di Banda Aceh, saya juga sempat nongkrong di beberapa warung kopi yang cukup ngetop di kota ini. Salah satunya di Kopi Kubra, alias Kupi Beuraweh. Pagi-pagi bener diajak ke sini, udah ramai banget pengunjung kedai kopi ini. Hebat ya! Bisa baca-baca cerita di kedai kopi Aceh ini di Nyicip ya. Selain menikmati suasana yang santai dan kopi yang nikmat, makanan-makanan yang disajikan di kedai-kedai kopi ini juga enak-enak dan harganya terjangkau. Gimana nggak hobi ngopi ya kalau gini, hehehe. Yah, itulah yang membuat saya pengen balik lagi ke Aceh. Untuk menikmati senyum hangat dan kopi nikmat!
Nice article!
makasih teh lygiaaa 😀
Sayangnya aku nggak ikut ngopi sama kalian waktu itu. :”D Semoga kapan-kapan bisa trip bareng lagi yaaa