Peran Perempuan Dalam Pengendalian Tembakau
Tembakau dan rokok, selalu menjadi isu di negeri kita ini. Selalu ada pro dan kontra dalam berbagai segi. Untuk itulah diperlukan sistem pengendalian yang cermat dan tepat. Walaupun mayoritas perokok adalah laki-laki, tetapi tentu saja membutuhkan keterlibatan perempuan dalam pengendalian tembakau, terutama di Indonesia.
Topik Keterlibatan Perempuan dalam Mendorong Kebijakan Pengendalian Tembakau yang Lebih Baik inilah yang menjadi bahan diskusi pada talkshow #PutusinAja di jaringan Kantor Berita Radio KBR pada hari Senin lalu. Ada tiga narasumber yang mumpuni pada talkshow ini, yaitu Ibu Gatari Dwi Hapsari selaku Program Officer Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau (JP3T), Luluk Ariyantiny selaku Ketua Umum Pelopor Peduli Disabilitas Situbondo (Yayasan PPDIS), dan Adriana Venny Aryani selaku Komisioner Komnas Perempuan. Program ini ditayangkan secara streaming melalu Power FM 89.2 Jakarta dan juga melalui aplikasi KBR yang bisa diunduh di Google Playstore dan iOS AppStore.
Melihat semakin luasnya penetrasi rokok pada masyarakat Indonesia, tentu saja hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap masalah kesehatan, terutama pada perempuan dan anak-anak. Ada beberapa kasus perokok anak-anak yang sempat terekspos berita pada waktu lalu, tapi kita tahu juga masih lebih banyak lagi yang tidak terekspos dan tidak mendapatkan perhatian khusus. Secara realita, kita bisa lihat anak-anak usia sekolah yang dengan mudahnya mengakses pembelian rokok dan bahkan dengan bangga memamerkan kegiatan sebagai perokok aktif itu di berbagai tempat. Sementara perokok perempuan pun tiap tahun semakin meningkat jumlahnya. Menurut Riset Kesehatan Dasar, jumlah perokok perempuan tahun ini meningkat menjadi 4,3%. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi FCTC (Framework Convention Tobacco Control), oleh sebab itu seluruh pihak – baik pemerintah dan masyarakat harus melihat hal ini sebagai isu yang penting.
Sementara bagi masyarakat yang tidak merokok pun tetap terkena dampak dari asap rokok. Tentu saja hal ini memprihatinkan, apalagi jika melihat di tempat-tempat umum pun masih banyak ibu dan anak yang terekspos asap rokok ini. Ibu Adriana Venny dari Komnas Perempuan menilai bahwa perempuan memiliki kepentingan paling besar dalam kebijakan pengendalian tembakau ini. Karena ketika berada di lingkungan yang tidak bebas asap rokok, maka perempuan dan anaklah yang paling terekspos bahaya dari asap rokok yang ada.
Ibu Gayatri Hapsari menyebutkan bahwa saat ini beberapa langkah telah diambil oleh Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau (JP3T), antara lain dengan membentuk sebuah organisasi perempuan usia 16-23 tahun yang disebut Puan Muda. Gerakan Puan Muda ini antara lain adalah melakukan advokasi kepada kementerian-kementerian teknis dan pemerintah daerah terkait, untuk mendorong kebijakan pengendalian tembakau seperti penetapan harga cukai rokok, membuat PERDA KTR (Kawasan Tanpa Rokok). Tentu saja gerakan ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Tetapi JP3T tetap berharap sebelum tahun 2030 Indonesia sudah memiliki visi yang solid untuk pengendalian tembakau ini.
Kendali dalam penetapan cukai tembakau yang dipegang oleh Pemerintah – dalam hal ini Pemerintah Daerah dan juga Bappeda – juga dapat memberikan dampak positif kepada kelompok masyarakat disabilitas, dengan adanya BPJS untuk 3.594 penyandang disabilitas yang sebagian berasal dari cukai rokok. Hal ini diungkapkan oleh mbak Luluk Ariyantiny selaku Ketua Umum Pelopor Peduli Disabilitas Situbondo (Yayasan PPDIS), yang juga merupakan direktur program peduli disabilitas dengan mitra pilar PR Yakkum, The Asia Foundation yang didukung oleh pemerintah Australia. Mbak Luluk telah memperjuangkan hak-hak difabel khususnya di Kabupaten Situbondo sejak tahun 2012, dan berhasil mendorong PERDA Kab Situbondo No. 03 Tahun 2018 tentang perlindungan dan pemberdayaan penyandang disabilitas. Tentu saja perjuangan masih panjang, dan apabila kebijakan-kebijakan ini juga bisa diterapkan oleh pemerintah daerah-daerah lain di Indonesia, tentu pengendalian tembakau di Indonesia dapat lebih teratur dengan cermat dengan langkah-langkah yang tepat.
Ketika kita menyadari bahwa jumlah perempuan dalam parlemen Indonesia masih di bawah 20%, bukan berarti perempuan harus menyerah begitu saja terhadap kontrol pemerintah mengenai kebijakan tembakau ini. Kita sebagai masyarakat juga bisa ikut serta dalam mengendalikan kesehatan kita sendiri, terutama keluarga kita masing-masing. Lihat lingkungan sekitar kita, lindungi anak-anak kita dari bahaya asap rokok dan ajak mereka untuk menjaga kesehatan diri sejak dini. Kita juga harus ikut melindungi KTR (Kawasan Tanpa Rokok), dan peringatkan para perokok untuk menjaga KTR dari asap rokoknya. Hal-hal kecil yang bisa kita mulai dari diri kita sendiri dan lingkungan, saya yakin pelan-pelan akan menimbulkan dampak yang positif bagi keluarga dan masyarakat yang lebih luas.